Saturday, March 22, 2014

Friday, April 06, 2012

BAS (1)
Sesudah mengambilkan raport, seorang bapak marah-marah kepada anaknya.
“Kamu ini mau jadi apa sih ? Raport kamu isinya merah semua ! Dasar pemalas !
Tiba-tiba seorang ibu yang sejak tadi memperhatikan mereka bertanya : “Kenapa anaknya dimarahi begitu, Pak ?”
“Ini lho bu, anak saya malas sekolah. Jaman sekarang kalau tidak sekolah bagaimana nasibnya kelak. Sedang yang sekolah saja banyak yang jadi penganggur, apalagi yang tidak ? Bagaimana mungkin bisa dapat kerja, dapat uang dan bisa membangun rumah ..!
“Lho bapak ini bagaimana sih, kalau soal membangun rumah itu gampang ! Wong anak saya saja yang tidak sekolah mampu membangun rumah !
“Lho memangnya anak ibu pekerjaannya apa ?”
“Itu lho, tukang bas. He..he..! (YUS)

BAS (2)
“Wah, bagaimana nih, kita kekurangan pemain gitar. Lalu siapa ya yang dapat diajak main band ?” Tanya Amir.
“Aku dengar di sekitar sini ada pemain bas yang bagus”, kata Badrun.
“Siapa dia ?” Tanya Amir.
Tiba-tiba si Dodi yang sedang membetulkan sound system menyahut : “Oya, si Agus !”
“Agus ? Agus yang mana ?”
“Itu lho yang tinggal di ujung jalan ini !”
“Oo, dia itu bukan pemain bas, tapi tukang bas bangunan !”
“Dasar bloon”. (YUS)
BANG MANDOR


Oleh : Yusep Prihanto


"Akhirnya jawara itu mati juga," demikian bisik seseorang di tengah peringatan Maulid Nabi malam itu, mengomentari meninggalnya Bang Mandor. Ya, kabar kematian Bang Mandor bagai petir di siang bolong. Tokoh jawara kampung kami itu tiba-tiba dikabarkan mati justru di saat para tetangga tengah sibuk shalat maghrib.
Kebetulan sekali kepergian Bang Mandor senja itu disertai langit hitam pekat, hujan deras yang mendadak tumpah, angin kencang serta kilap dan geledek berpendar-pendar menyambar bumi. Seolah-olah alam mengiringi kepulangannya. Dan orang terkesiap mendengar kabar itu. Siapa sangka orang yang beberapa jam lalu masih terlihat mengobrol di depan rumahnya itu tiba-tiba diumumkan lewat speker musholah bahwa dia sudah tiada.
"Ya, namanya juga manusia, sejago-jagonya orang, masih ada yang lebih jago," bisik yang lain agak sinis.
"Maaf nih, biasanya kalau orang yang punya banyak dosa, matinya bisa lama. Tetapi kenapa Bang Mandor bisa demikian cepat, ya?"
"Husss, siapa bilang? Enak saja kamu bicara. Tahu apa kamu tentang dosa seseorang? Tidak ada satu pun yang tahu soal dosa manusia kecuali Tuhan. Sudahlah kamu jangan sok tahu!" .
Perbincangan terhenti sebab acara sudah dimulai. Lalu dua orang itu pun terdiam. Terpaku mendengarkan ceramah Pak Kiai yang bertutur tentang makna Maulid Nabi. Aku sendiri tak habis pikir, mengapa Bang Mandor bisa begitu cepat dicabut nyawanya. Padahal baru beberapa jam yang lalu aku masih sempat bertegur sapa dengannya. Untunglah selama ini hubunganku dengannya baik-baik saja. Sebab seringkali kudengar para tetanggaku terlibat keributan dengan Bang Mandor.
Pernah suatu ketika menjelang lebaran, jalan menuju ke rumah potong hewan di dekat rumah, digali olehnya selebar parit lantaran dia tidak memperoleh jatah daging sapi seperti biasanya dari pemilik jagal yang baru itu. Di lain waktu sebagai pimpinan pengurus makam ia juga sering terlibat keributan soal biaya pemakaman. Atau pun dia akan menyuruh anak buahnya untuk mencuri bahan-bahan bangunan kalau si pemilik bangunan tidak membayar semacam "uang jago". Dan kini jawara itu telah tiada. Kisah-kisah buruk tentangnya akan menjadi angin lalu. Barangkali itulah yang disebut takdir, kita tidak tahu kapan kita akan dipanggil oleh pemilik tubuh ini.
Malam makin larut, perhelatan Maulid pun usai. Seperti biasa suasana kampung jadi sunyi senyap jika ada orang meninggal. Tak lama kemudian erte Nano mampir ke rumahku sambil membawa beberapa isu seputar kematian Bang Mandor yang tampak agak misterius. Menurut gosipnya, Bang Mandor terjatuh dari kursi setelah dia merasakan sakit di dadanya, sehingga kepala bagian belakangnya terbentur batu besar.
Hal itu terjadi beberapa saat setelah dia terlibat perdebatan panas soal saluran air dengan dua orang tetangganya, Bang Miun dan Bang Tamrin. Keduanya adalah utusan Haji Maman, juragan kontrakan yang panik karena saluran air kontrakannya yang selama ini harus melalui tanah kosong milik orang lain. Dan kini tanah itu akan dibangun oleh yang empunya, sehingga saluran air kontrakan harus dibongkar dan dipindah ke tempat lain.
Tugas Bang Miun dan Bang Tamrin adalah melobi Bang Mandor agar mau mengizinkan tanahnya dilalui oleh saluran air tersebut. Namun entah kenapa Bang Mandor kemudian menjadi sangat marah pada kedua orang itu lalu memukul Bang Tamrin, yang tak lama setelah kejadian itu Bang Mandor pun semaput lalu meninggal.
Tentu saja kisah ini membuatku terkejut karena persoalan pokoknya bermula dari saluran air, yang menjadi dasar penyebab kematian Bang Mandor. Pikiran burukku mulai menggedor-gedor jantungku. Jangan-jangan orang akan mengaitkan bahkan menudingku sebagai penyebab asal muasal kematiannya.
Memang, seminggu sebelumnya Haji Maman, orang kaya baru yang sombong itu, datang ke rumah kami untuk membicarakan masalah saluran air. Rencananya jika diizinkan, dia akan membuat saluran melalui tanah kami yang tepat berada di belakang rumah kontrakannya. Pipa saluran air itu akan diusahakan dibuat sedemikian rupa dengan memendamnya dalam-dalam, sehingga diperkirakan tidak akan menimbulkan banyak masalah di kemudian hari.
"Ya, tentu saja nanti ada hitungannya," begitu janjinya. Sebenarnya aku tidak setuju. Tetapi karena dijanjikan dengan "akan ada hitung-hitungannya", mau tidak mau kami menyetujuinya asalkan saluran itu tidak menimbulkan kebocoran. Namun sayangnya hingga menjelang dia pulang, belum ada pembicaraan tentang "hitung-hitungan" tadi. Malah tanpa sepengetahuanku, orang tua setengah baya itu menyelipkan uang dua lembar ratusan ribu ke tangan ibu mertuaku.
Kami baru tahu setelah ibu mertuaku menceritakannya. Maka marahlah kami. Pertama, karena tidak ada pembicaraan lanjut dari janjinya itu. Kedua, karena ketidaksopanannya. Maka kuminta uang itu segera dikembalikan, sebab hal itu sama dengan meremehkan kami. Masak hanya dengan uang dua ratus ribu kami harus mengorbankan tanah hanya untuk menyalurkan limbah bisnis orang lain seumur hidup. Sementara dia enak-enakan menerima jutaan rupiah dari uang sewa kontrakan itu.
Bersama ipar-iparku, kami sepakat untuk menolak rencana Haji Maman itu. Dan kalau pun setuju, harus dengan syarat bahwa dia membayar sekian juta untuk satu kali selama-lamanya atau dengan sistem sewa pertahun.
"Kejam sekali!" ucapnya marah ketika esokan paginya kami bertemu.
"Ini bukan kekejaman!" tangkisku. "Sebenarnya saya mengizinkan kalau memang untuk rumah tinggal Bang Haji sendiri dan kita akan menjadi tetangga. Tapi masalahnya itu rumah kontrakan yang akan diisi oleh orang lain, yang asalnya dari mana-mana. Lagi pula itu lahan bisnis Bang haji. Karenanya ini harus dihitung secara bisnis pula. Orang-oranglah yang kejam, mendirikan bangunan dengan menghabiskan seluruh tanahnya tanpa memikirkan saluran pembuangan limbahnya. Kenapa dulu sewaktu membangun kontrakan itu, Bang Haji tidak memikirkan ke mana limbahnya akan dibuang? Mengapa baru sekarang anda menjadi panik?"
"Ya, dulu tidak punya pikiran ke sana." Jawabnya pelan.
"Itulah masalahnya. Kalau orang tidak mau rugi." Kataku.
"Sudah, sudah, cukup. Jangan diteruskan, "sergah iparku menengahi. "Jadi begini, Bang Haji. Kalau Bang haji setuju silakan kalau tidak setuju, ya silakan cari cara yang lain."
"Saya tidak sanggup kalau harus membayar sebesar itu," jawabnya sambil pamit pulang. Dasar manusia kikir, kataku dalam hati. Jadi orang mau enaknya saja. Untuk kepentingannya sendiri saja tidak mau berkorban. Dan memang orang sekampung pun sudah mengetahui kisah kesombongan dan kekikiran Haji Maman. Padahal dia jatuh kaya hanya karena menantunya yang pengusaha dan pernah mencalonkan diri menjadi anggota dewan.
Beberapa hari kemudian setelah itu, kudengar haji Maman berencana akan membuat saluran air dari depan kontrakannya melalui beberapa rumah warga lainnya dan berujung di tanah milik Bang Mandor yang merupakan bantaran sungai kecil menuju sawah. Rencananya, biaya penggalian, pipa-pipa serta tenaga kerjanya akan ditanggung bersama oleh beberapa warga yang rumahnya dilewati saluran air itu. Pintar juga dia mengakali orang lain agar dia sendiri tidak banyak berkorban. Itulah sebabnya kemudian dia mengutus Bang Miun dan Bang Tamrin menghadap Bang Mandor. Sedangkan dia sendiri tidak berani secara langsung berbicara sendiri pada Bang Mandor. Sebab ditengarai dia pernah dicaci maki Bang Mandor dalam masalah yang sama ketika pertama kali akan mendirikan bangunan kontrakan itu.
Kupikir baguslah itu, kalau memang dia berani menghadapi Bang Mandor. Lagi pula biaya untuk pembuatan saluran air itu akan lebih besar dari pada tawaran kami, sebab diperlukan lebih banyak pipa dan penggalian. Liciknya dia tak mau memikul sendiri biaya proyek itu. Sampai akhirnya terjadilah peristiwa tragis itu: bang Mandor was dead.

(bersambung)

Tuesday, December 27, 2011